Cooperative Learning adalah satu startegi yang digunakan dalam model pembelajaran
konstruktivisme. Pembelajaran konstruktivisme menurut anggapan Paul Suparno
adalah pengetahuan merupakan kostruksi (bentuk) dari orang yang mengetahui
sesuatu itu sendiri, konstruksivisme menekankan peran aktif siswa karena
pengetahuan dibentuk oleh siswa secara aktif dan bukan hanya sekedar diterima
secara pasif dari guru (Paul Suparno: 1997). Cooperative learning merupakan salah satu pendekatan yang digunakan
dalam model pembelajaran konstruktivistik. Pembelajaran konstruktivistik
merupakan proses aktif dari pelajar untuk membangun pengetahuan, bukan hanya
bersifat mental tetapi juga keaktifan fisik, artinya melalui aktivitas secara
fisik pengetahuan siswa secara aktif dibangun berdasarkan proses asimilasi
pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengetahuan yang telah dimiliki
pelajaran dan ini berlangsung secara mental. Dengan demikian hakikat dari
pembelajaran ini adalah membangun pendekatan.
Cara belajar mengajar di sekolah yang
berdasarkan pada teori konstruktivisme adalah cara belajar yang menekankan
murid dalam membentuk pengetahuannya, sedangkan guru lebih berperan sebagai
fasilitator yang membantu keaktifan murid tersebut dalam pembentukan
pengetahuannya.
Cooperative learning mencakup suatu kelompok kecil siswa yang bekerja sebagai sebuah tim
untuk menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan tugas, atau mengerjakan untuk
mencapai tujuan bersama lainnya. Dari uraian di atas dapat diartikan bahwa cooperative
learning adalah suatu model pengajaran dimana siswa belajar dan bekerja
dalam suatu kelompok kecil, mereka pun saling membantu, saling berdiskusi dan
berargumentasi dalam memahami suatu materi pelajaran dan bekerjasama dalam
mengerjakan tugas atau lembar kerja, baik dalam bentuk tutorial sebaya, latihan
dan koreksi sebaya. Sehingga pembelajaran dapat membantu dalam meminimalisir
perbedaan pemahaman dan penguasaan terhadap materi pelajaran dari setiap
individu siswa.
Walaupun pada dasarnya cooperative
learning diterapkan dalam bentuk kelompok belajar, tetapi berbeda dengan
kelompok tradisional. Kelompok belajar tradisional maksudnya adalah yang sering
diterapkan di sekolah seperti kelompok diskusi, kelompok tugas dan kelompok
belajar lainnya (Wahiduddin. S: 2003). Perbedaan kelompok belajar bersebut
dapat dilihat pada table berikut:
Perbedaan kelompok belajar
kooperatif dengan kelompok belajar tradisional.
Kelompok belajar kooperatif
|
Kelompok belajar tradisional
|
1.
Adanya saling ketergantungan
positif
2.
Adanya akuntabilitas individu
3.
Kelompok heterogen
4.
Terjadi saling transfer sikap
kepemimpinan
5.
Sama-sama bertanggung jawab
terhadap tiap anggota kelompok yang lain
6.
Menekankan pada penyelesaian
tugas dan mempertahankan hubungan
7.
Keterampilan sosial diajarkan
secara langsung
8.
Guru melakukan observasi dan
intervensi
9.
Guru memperhatikan proses
kelompok belajar sehingga efektif
|
1.
Tidak ada saling
ketergantungan positif
2.
Tidak ada akuntabilitas
individu
3.
Kelompok homogen
4.
Hanya bergantung pada satu
orang pemimpin
5.
Tanggung jawab hanya untuk
diri sendiri
6.
Hanya menekankan pada
penyelesaikan tugas
7.
Keterampilan sosial hanya
diasumsikan dan diabaikan
8.
Guru mengabaikan fungsi
kelompok belajar
9.
Guru tidak memperhatikan
proses kelompok belajar
|
Pandangan konstruktivisme menyatakan
bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran pembelajaran yang berlangsung melalui
proses assimilasi atau akomodasi yang dilandasi oleh struktur kognitif pada
diri pelajar yang telah ada sebelumnya, sehingga dalam proses pembelajaran
konstruktivisme siswa aktif secara mental dalam membangun pengetahuannya
sementara guru berperan sebagai fasilitator yang kreatif (Siswoyo :2000).
Menurut Jacobson : “cooperative learning
adalah sebuah bentuk dari strategi mengajar yang didisain untuk mendukung
kerjasama didalam kelompok dan interaksi di antara siswa. Strategi ini dibuat
untuk mengurangi kompetisi yang ditemukan dibanyak ruang kelas, yang dapat
menimbulkan siapa menang dan siapa kalah dan menurunkan motivasi siswa untuk
saling membantu dengan tujuan yang sama (Kauchak Egged Jabobson: 1989).
Cooperative learning mencakup suatu kelompok kecil siswa yang bekerja sebagai sebuah tim
untuk menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan suatu tugas, atau mengerjakan
sesuatu untuk mencapai tujuan bersama lainnya. Tidaklah cukup menunjukan cooperative
learning jika para siswa duduk bersama dalam kelompok-kelompok kecil tetapi
menyelesaikan masalah sendiri-sendiri.
Bukanlah cooperative learning jika para
siswa duduk bersama dalam kelompok-kelompok kecil dan mempersilakan salah
seorang diantaranya untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan kelompok. Cooperative
learning menekankan pada kehadiran teman sebaya yang berinteraksi antar
sesamanya sebagai sebuah tim dalam menyelesaikan atau membahas suatu masalah
atau tugas.
Cooperative learning lebih dari sekedar belajar kelompok atau kelompok kerja, karena
dalam medel cooperative learning harus ada “ struktur dorongan dan tugas
yang bersifat cooperative” sehingga memungkinkan terjadinya interaksi
secara terbuka dan hubungan-hubungan yang bersifat interdependensi yang efektif
di antara anggota kelompok. Keberhasilan belajar bukan semata ditentukan oleh
kemampuan individu secara utuh, melainkan perolehan belajar itu akan semakin
baik apabila dilakukan secara bersama-sama dalam kelompok-kelompok belajar
kecil yang terstruktur dengan baik. Di samping itu, pola hubungan kerja seperti
itu memungkinkan timbulnya persepsi yang positif tentang apa yang dapat mereka
lakukan untuk berhasil berdasarkan kemampuan dirinya secra individual dan
sumbangsih dari anggota lainnya selama mereka belajar secara bersama-sama dalam
kelompok.
Ada beberapa hal yang perlu dipenuhi cooperative
learning agar lebih menjamin para siswa bekerja secara kooperatif, hal-hal
tersebut meliputi :
1)
Para siswa yang tergabung dalam
suatu kelompok harus merasa bahwa mereka adalah bagian dari sebuah tim dan
mempunyai tujuan bersama yang harus dicapai.
2)
Para siswa yang tergabung dalam
sebuah kelompok harus menyadari bahwa masalah yang mereka hadapi adalah masalah
kelompok dan bahwa berhasil atau tidaknya kelompok itu akan menjadi tanggung
jawab bersama oleh seluruh anggota kelompok itu.
3)
Untuk mencapai hasil yang
maksimum, para siswa yang tergabung dalam kelompok itu harus berbicara satu
sama lain dalam mendiskusikan masalah yang dihadapinya. Akhirnya, para siswa
yang tergabung dalam suatu kelompok harus menyadari bahwa setiap pekerjaan
siswa mempunyai akibat langsung pada keberhasilan kelompoknya.
Beberapa manfaat proses cooperative
learning, menurut Anita Lie yaitu : siswa dapat meningkatkan kemampuannya
untuk bekerja sama dengan siswa lain, mempunyai lebih banyak kesempatan untuk
menghargai perbedaan, mengurangi kecemasan siswa, meningkatkan partisipasi
dalam proses pembelajaran, motivasi, harga diri, sikap positif, dan prestasi
belajar siswa.
Ironisnya, model cooperative
learning belum banyak diterapkan dalam pendidikan, walaupun orang Indonesia
sangat membanggakan sifat gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat.
Kebanyakan pengajar enggan menerapkan sistem kerja sama di dalam kelas karena
beberapa alasan. Alasan yang utama adalah kekhawatiran bahwa akan terjadi
kekacauan di kelas dan siswa tidak belajar jika mereka ditempatkan dalam group.
Selain itu, banyak orang yang mempunyai kesan negatif mengenai kegiatan kerja
sama atau belajar dalam kelompok. Banyak siswa juga tidak senang disuruh
kerjasama dengan yang lain. Siswa yang tekun harus bekerja melebihi siswa yang
lain dalam group mereka. Sedangkan siswa yang kurang mampu merasa minder
ditempatkan dalam satu group dengan siswa yang lebih pandai. Siswa yang tekun
juga merasa temannya yang kurang mampu hanya nunut saja hasil jerih
payah mereka.
Sebenarnya, pembagian kerja yang
kurang adil tidak perlu terjadi dalam kerja kelompok, jika pengajar benar-benar
menerapkan prosedur model cooperative learning. Banyak pengajar hanya
membagi siswa dalam kelompok lalu memberi tugas untuk menyelesaikan sesuatu
tanpa pedoman mengenai pembagian tugas. Akibatnya, siswa merasa ditinggal
sendiri karena mereka belum berpengalaman, merasa bingung dan tidak tahu
bagaimana harus bekerja menyelesaikan tugas tersebut kekacauan dan kegaduhan
yang terjadi.
Model cooperative learning
tidak sama dengan sekedar belajar dalam kelompok. Ada unsur-unsur dasar cooperative learning
yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan.
Pelaksanaan prosedur model cooperative learning dengan benar akan
memungkinkan pendidik mengelola kelas dengan lebih efektif (Anita Lie: 2002).
Slavin dan Stahl mengatakan bahwa, cooperative
learning lebih dari sekedar belajar kelompok atau kelompok kerja, karena
belajar model cooperative learning harus ada “struktur dorongan dan tugas
yang bersifat kooperatif”, sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara
terbuka dan hubungan-hubungan yang bersifat interdependensi yang efektif
diantara anggota kelompok. Di samping itu, pola hubungan kerja seperti itu
memungkinkan timbulnya persepsi yang positif tentang apa yang dapat mereka
lakukan untuk berhasil berdasarkan kemampuan dirinya secara individual dan
sumbangsih dari anggota lainnya selama mereka belajar secara bersama-sama dalam
kelompok. Stahl, mengatakan bahwa model pembelajaran cooperative learning
menempatkan siswa sebagai bagian dari suatu sistem kerja sama dalam mencapai
suatu hasil yang optimal dalam belajar.
Slavin, sebagaimana dikutip oleh Etin
Solihatin mengatakan bahwa, model pembelajaran ini berangkat dari asumsi
mendasar dalam kehidupan masyarakat yaitu : “getting better together”, atau raihlah yang lebih baik secara
bersama-sama.
Aplikasinya dalam pembelajaran di
kelas, strategi pembelajaran ini mengetengahkan realita kehidupan masyarakat
yang dirasakan dan dialami oleh siswa dalam kesehariannya dalam bentuk yang
disederhanakan dalam kehidupan di kelas. Strategi pembelajaran ini memandang
bahwa keberhasilan dalam belajar bukan semata-mata harus diperoleh dari guru,
melainkan bisa juga dari pihak lain yang terlibat dalam pembelajaran itu, yaitu
teman sebayanya.
Michael
mengatakan bahwa,
cooperative learning is more effective in increasing motive and performance student Model
pembelajaran cooperative learning mendorong peningkatan kemampuan siswa
dalam memecahkan berbagai permasalahan yang ditemui selama pembelajaran, karena
siswa dapat bekerja sama dengan siswa lain dalam menemukan dan merumuskan
alternatif pemecahan terhadap masalah materi yang dihadapi.
Berdasarkan pengertian tersebut,
mereka dalam pembelajaran dengan menggunakan model cooperative learning,
pengembangan kualitas diri siswa terutama aspek efektif siswa dilakukan
bersama-sama. Belajar dalam kelompok kecil dengan prinsip kooperatif sangat
baik digunakan untuk mencapai tujuan belajar, baik yang bersifat kognitif,
afektif, maupun konatif. Suasana belajar yang berlangsung dalam interaksi yang
saling percaya, terbuka dan rileks diantara anggota kelompok memberikan kesempatan
bagi siswa untuk memperoleh dan memberi masukan diantara mereka untuk
mengembangkan pengetahuan, sikap, nilai, dan moral, serta keterampilan yang
ingin dikembangkan dalam pembelajaran (Etin Solihatin: 2001).
Dalam pembelajaran cooperative
learning semua anggota dituntut memberikan urunan pendapat, ide, dan
pemecahan masalah sehingga dapat tercapai tujuan belajar. Anggota kelompok
belajar cooperative learning harus
saling membantu, kerja sama dan bertanggung jawab dalam memahami suatu pokok
bahasan (Wakhinuddin S: 2003).
Pembelajaran cooperative telah
diteliti dan dikembangkan oleh beberapa universitas, diantaranya Universitas
John Hoopkins. Mereka menemukan teknik-teknik belajar cooperative, pada praktiknya menggunakan metode Student teams learning (STL). Pada STL menekankan bahwa pencapaian tujuan dan
kesuksesan kelompok dilakukan dengan cara kerja sama antar anggota kelompok
yang efektif. Kerja sama kelompok tersebut tidak hanya pada penyelesaian tugas,
tetapi juga pada saat memahami suatu pokok bahasan, seperti yang diungkapkan
Slavin bahwa STL siswa tidak hanya bekerja dalam mengerjakan sesuatu secara
kelompok, tetapi juga dalam memahami dan mempelajari sesuatu secara kelompok.
Essensi cooperative learning
adalah tanggung jawab individu sekaligus kelompok, sehingga dalam diri siswa
terbentuk sikap ketergantungan positif (positive interdependence) yang
menjadikan kerja kelompok berjalan optimal. Keadaan ini mendorong siswa dalam
kelompoknya belajar, bekerja, dan bertanggung jawab dengan sungguh-sungguh sampai
dengan selesai tugas-tugas individu dan kelompok. Oleh karena itu, siswa dalam
kerja kelompok tidak menjadi “penumpang
gelap” (hitch-hike), “pasrah” kepada teman asal, namanya tercantum
sebagai anggota kelompok.
Pembelajaran yang dikembangkan dari
STL (Student Team Learning) memiliki banyak bentuk, diantaranya: STAD (Student
Teams Achievement Division), TGT (Teams Games Tournament), TAI (Teams
Assisted Individulization), CIRC (Cooperative Integrated Reading and
Composition), Jigsaw .
Selain itu ada beberapa pembelajaran cooperative yaitu, Group Investigation, Learning Together, Co-op Co-op sebagainya.
Teknik Jigsaw, Group investigation, dan Co-op Co-op adalah
teknik cooperative learning yang mengutamakan tentang spesialisasi
anggota kelompok di dalam kelompok.
Roger dan David Johnson mengatakan
bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap cooperative learning. Untuk mencapai hasil yang maksimal lima unsur teknik pembelajaran
gotong royong harus diterapkan.
1)
Saling ketergantungan positif
2)
Tanggung jawab perseorangan
3)
Tatap muka
4)
Komunikasi antar anggota
5)
Evaluasi proses kelompok
Elemen-elemen
dasar tersebut merupakan hal yang sangat penting dalam proses perkembangan
siswa menuju pendewasaan diri, diantaranya pendewasaan diri dalam proses
belajar di sekolah. Dengan demikian dapat mempertinggi pencapaian hasil belajar
siswa.
Strategi
pembelajaran Cooperative didasarkan pada dua landasan teori
yang mendukung, yaitu teori motivasi dan teori kognitif (Robert E. Slavin:
2008). Pembahasan kedua teori tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Teori Motivasi
Motovasi belajar merupakan motor
penggerak yang mengaktifkan siswa-siswa untuk melibatkan diri dalam belajar.
Sebagai motor penggerak, motivasi memegang peranan penting dalam memberikan
gairah dan semangat dalam belajar. Siswa yang bermotivasi kuat memiliki energi
yang banyak untuk melakukan kegiatan belajar. Ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Ngalim Purwanto mengenai definisi motivasi, yaitu “pendorong”
suatu usaha yang disadari untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang agar ia
tergerak hatinya untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil atau
tujuan tertentu.
Dalam cooperative learning, ikatan kerjasama dalam suatu kelompok
mengandung daya motivasional yang kuat, masing-masing anggota kelompok saling
melibatkan diri untuk mencapai sasaran, karena mereka yakin bahwa tujuan
belajar hanya dapat dicapai berkat kerjasama. Keyakinan ini berbeda dengan
keyakinan bahwa tujuan yang dikejar hanya dapat dicapai bila orang lain tidak
dapat mencapainya atau keyakinan bahwa sasaran yang dituju sendiri tidak ada
hubungannya dengan sasaran orang lain. Bekerjasama berarti bahwa seorang siswa
memperoleh atau meningkatkan motivasinya karena interaksi cooperative dengan teman sekelasnya sekaligus kebutuhan untuk
menerima dan dapat diterima orang lain. Pada gilirannya, kadar motivasi yang
lebih tinggi menghasilkan taraf prestasi yang lebih tinggi pula.
2)
Teori Kognitif
Teori kognitif lebih menekankan pada
efek dari kerjasama tersebut pada diri masing-masing siswa. Ada dua kategori utama yang merupakan bagian
dari teori kognitif, yaitu:
(a)
Teori Perkembangan
Damon dan Murray berpendapat mengenai asumsi dasar
teori perkembangan, yaitu bahwa “interaksi antar siswa terhadap tugas-tugas
yang tepat atau sesuai dengan tingkat pengetahuan siswa dapat meningkatkan
penguasaan konsep-konsep penting (Robert E. Slavin:2008). Sedangkan Vygotsky
mendefinisikan suatu teori tentang perkembangan yang dikenal dengan Zone of
Proximal Development (ZPD) memberikan pandangan bahwa “aktivitas” kolaborasi
dapat meningkatkan suatu pertumbuhan. Maksudnya, apabila siswa dalam tingkat
usia yang sama melakukan kolaborasi yaitu menyelesaikan permasalahan yang taraf
kesulitannya masih berada dalam ZPD mereka, hasilnya akan lebih baik dan
menguntungkan dibandingkan dengan mereka yang bekerja sendiri-sendiri.
(b)
Teori Elaborasi Kognitif
Wittrock mengungkapkan bahwa “di
dalam psikologi kognitif telah ditemukan bahwa jika informasi yang telah
tersimpan dalam ingatan dan selanjutnya dihubungkan dengan informasi yang baru,
maka siswa harus melakukan penstrukturan kembali kognitifnya”. Ketika siswa
melakukan kembali pengetahuannya tersebut dengan pengetahuan yang telah ada
sehingga siswa tersebut akan memperoleh pemahaman yang lebih baik.
Pada cooperative learning di
kelas biasanya akan terjadi tutorial diantara siswa, dimana siswa yang lebih
memahami konsep atau materi pembelajaran (tutor) akan memberikan
penjelasan kepada siswa lain dalam kelompoknya (tute). Struktur kognitif
seorang tutor akan berbeda ketika memperoleh pemahamannya sendiri dibandingkan
setelah memberikan tutorial. Peningkatan pemahaman juga terjadi pada siswa yang
diberikan penjelasan. Dengan demikian baik tutor maupun tute akan memperoleh keuntungan
dari proses tutorial.
Melalui cooperative learning ini siswa
diberi kesempatan bukan hanya sekedar belajar tetapi juga saling mengajarkan
satu sama lain. Sehingga siswa tidak berpikir sendiri dan mempertanggung
jawabkannya, namun juga saling berbagi dalam proses pembelajaran. Dari dua
landasan teori yang mendukung pelaksanaan cooperative
learning tersebut, pada akhirnya akan mempertinggi pencapaian prestasi
belajar siswa Robert E. Slavin.
0 komentar:
Posting Komentar