Sesuai dengan filsafat yang mendasari pembelajaran Kontekstual
dimana pengetahuan terbentuk karena peran aktif subjek, maka dipandang dari
sudut psikologis, CTL berpijak pada aliran psikologis kognitif. Menurut aliran
ini proses belajar terjadi karena pemahaman individu akan lingkungan. Belajar
bukanlah peristiwa mekanis seperti keterkaitan Stimulus dan Respons. Belajar
tidak sesederhana itu. Belajar melibatkan proses mental yang tidak tampak
seperti emosi, minat, motivasi dan kemampuan atau pengalaman. Apa yang tampak,
pada dasarnya adalah wujud dari adanya dorongan yang berkembang dalam diri
seseorang.
Sebagai peristiwa mental perilaku
manusia tidak semata-mata merupakan gerakan fisik saja, akan tetapi yang lebih
penting adalah adanya faktor pendorong yang ada dibelakang gerakan fisik itu.
Mengapa demikian? Sebab manusia selamanya memiliki kebutuhan yang melekat dalam
dirinya. Kebutuhan itulah yang mendorong manusia untuk berperilaku.
Dari asumsi dan latar belakang yang
mendasarinya, maka terdapat beberapa hal yang harus dipahami tentang belajar
dalam konteks CTL menurut Sanjaya (2005:114) antara lain:
1)
Belajar bukanlah menghafal,
akan tetapi proses mengonstruksi pengetahuan sesuai dengan pengalaman yang
mereka miliki. Oleh karena itulah, semakin banyak pengalaman maka akan semakin
banyak pula pengetahuan yang mereka peroleh.
2)
Belajar bukan sekadar
mengumpulkan fakta yang lepas-lepas. Pengetahuan itu pada dasarnya merupakan
organisasi dari semua yang dialami, sehingga dengan pengetahuan yang dimiliki
akan berpengaruh terhadap pola-pola perilaku manusia, seperti pola berpikir,
pola bertindak, kemampuan memecahkan persoalan termasuk penampilan atau
performance seseorang. Semakin pengetahuan seseorang luas dan mendalam, maka
akan semakin efektif dalam berpikir.
3)
Belajar adalah proses pemecahan
masalah, sebab dengan memecahkan masalah anak akan berkembang secara utuh yang
bukan hanya perkembangan intektual akan tetapi juga mental dan emosi. Belajar
secara kontekstual adalah belajar bagaimana anak menghadapi persoalan.
4)
Belajar adalah proses
pengalaman sendiri yang berkembang secara bertahap dari sederhana menuju yang
kompleks. Oleh karena itu belajar tidak dapat sekaligus, akan tetapi sesuai
dengan irama kemampuan siswa.
5)
Belajar pada hakikatnya adalah
menagkap pengetahuan dari kenyataan. Oleh karena itu, pengetahuan yang
diperoleh adalah pengetahuan yang memiliki makna untuk kehidupan anak (Real
World Learning)
Selanjutnya Sanjaya (2005:115)
memberikan penjelasan perbedaan CTL dengan pembelajaran konvensional, antara
lain:
1)
CTL menempatkan siswa sebagai
subjek belajar, artinya siswa perperan aktif dalam setiap proses pembelajaran
dengan cara menemukan dan menggali sendiri materi pelajaran. Sedangkan dalam
pembelajaran konvensional siswa ditempatkan sebagai objek belajar yang berperan
sebagai penerima informasi secara pasif.
2)
Dalam pembelajaran CTL siswa
belajar melalui kegiatan kelompok, seperti kerja kelompok, berdiskusi, saling
menerima, dan memberi. Sedangkan, dalam pembelajaran konvensional siswa lebih
bnayak belajar secara individual dengan menerima, mencatat, dan menghafal
materi pelajaran.
3)
Dalam CTL pembelajaran
dikaitkan dengan kehidupan nyata secara riil; sedangkan dalam pembelajaran
konvensional pembelajaran bersifat teoretis dan abstrak.
4)
Dalam CTL, kemampuan didasarkan
atas pengalaman, sedangkan dalam pembelajaran konvensional kemampuan diperoleh
melalui latihan-latihan
5)
Tujuan akhir dari proses
pembelajaran melalui CTL adalah kepuasan diri; sedangkan dalam pembelajaran
konvensional tujuan akhir adalah nilai dan angka.
6)
Dalam CTL, tindakan atau
perilaku dibangun atas kesadaran diri sendiri, misalnya individu tidak melakukan
perilaku tertentu karena ia menyadari bahwa perilaku itu merugikan dan tidak
bermanfaat; sedangkan dalam pembelajaran konvensional tindakan atau perilaku
individu didasarkan oleh faktor dari luar dirinya, misalnya individu tidak
melakukan sesuatu disebabkan takut hukuman, atau sakadar untuk memperoleh angka
atau nilai dari guru.
7)
Dalam CTL, pengetahuan yang
dimiliki setiap individu selalu berkembang sesuai dengan pengalaman yang
dialaminya, oleh sebab itu setiap siswa bisa terjadi perbedaan dalam memaknai
hakikat pengetahuan yang dimilikinya. Dalam pembelajaran konvensional, hal ini
tidak mungkin terjadi. Kebenaran yang dimiliki bersifat absolut dan final, oleh
karena pengetahuan dikonstruksi oleh orang lain.
8)
Dalam pembelajaran CTL, siswa
bertanggung jawab dalam memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka
masing-masing; sedangkan dalam pembelajaran konvensional guru adalah penentu
jalannya proses pembelajaran.
9)
Dalam pembelajaran CTL,
pembelajaran bisa terjadi di mana saja dalam konteks dan setting yang berbeda
sesuai dengan kebutuhan; sedangkan dalam pembelajaran konvensional pembelajaran
hanya terjadi di dalam kelas.
10)
Oleh karena tujuan yang ingin
dicapai adalah seluruh aspek perkembangan siswa, maka dalam CTL keberhasilan
pembelajaran diukur dengan berbagai cara misalnya dengan evaluasi proses, hasil
karya siswa, penampilan, rekaman, observasi, wawancara, dan lain sebagainya;
sedangkan dalam pembelajaran konvensional keberhasilan pembelajaran biasanya
hanya diukur dari tes.
Berdasarkan perbedaan pokok tersebut
di atas, bahwa CTL memang memiliki karakteristik tersendiri baik dilihat dari
asumsi maupun proses pelaksanaan dan pengelolaannya. Dalam proses pembelajaran
kontekstual, setiap guru perlu memahami tipe belajar dalam dunia siswa, artinya
guru perlu menyesuaikan gaya mengajar terhadap gaya belajar siswa. Dalam proses
pembelajaran konvensional hal ini sering terlupakan, sehingga proses
pembelajaran tidak ubahnya sebagai proses pemaksaan kehendak, yang menurut
Paulo Freire (Sanjaya, 2005:116-117) sebagai sistem penindasan.
Sehubungan dengan hal itu, terdapat
beberapa hal yang harus diperhatikan bagi setiap guru manakala menggunakan
pendekatan CTL yakni:
1)
Siswa dalam pembelajaran
kontekstual dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar
seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keleluasan pengalaman
yang dimilikinya. Anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil, melainkan
organisme yang sedang berada dalam tahap-tahap perkembangan. Kemampuan belajar
akan sangat ditentukan oleh tingkat perkembangan dan pengalaman mereka. Dengan
demikian peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ‘’penguasa’’ yang
memaksakan kehendak, melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat
belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
2)
Setiap anak memiliki
kecenderungan untuk belajar hal-hal yang baru dan memecahkan setiap persoalan
yang menantang. Dengan demikian guru berperan dalam memilih bahan-bahan belajar
yang dianggap penting untuk dipelajari oleh siswa.
3)
Belajar bagi siswa adalah proses
mencari keterkaitan atau keterhubungan antara hal-hal yang baru dengan hal-hal
yang sudah diketahui. Dengan demikian peran guru adalah membantu agar setiap
siswa mempu menemukan keterkaitan antara pengalaman baru dengan pengalaman
sebelumnya.
4)
Belajar bagi anak adalah proses
penyempurnaan skema yang telah ada (asimilasi) atau proses pembentukan skema
baru (akomodasi), dengan demikian tugas guru adalah memfasilitasi (mempermudah)
agar anak mampu melakukan proses asimilasi dan proses akomodasi.
Sesuai dengan asumsi yang
mendasarinya, bahwa pengetahuan itu diperoleh anak bukan dari informasi yang
diberikan oleh orang lain temasuk guru, akan tetapi dari proses penemukan dan
mengontruksinya sendiri, maka guru harus menghindari mengajar sebagai proses
penyampaian informasi. Guru perlu memandang siswa sebagai subjek belajar dengan
segala keunikannya. Siswa adalah organisme aktif yang memiliki potensi untuk
membangun pengetahuannya sendiri. Kalaupun guru memberikan informasi kepada
siswa, guru harus memberi kesempatan untuk menggali informasi itu agar lebih
bermakna untuk kehidupan mereka.
CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki 7 (tujuh) asas. Asas-asas ini yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL. Komponen tersebut antara lain konstruktivisme, inkuiri, bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), penilaian nyata (authentic assessment)
CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki 7 (tujuh) asas. Asas-asas ini yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL. Komponen tersebut antara lain konstruktivisme, inkuiri, bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), penilaian nyata (authentic assessment)
Konstruktivisme adalah proses
membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa
berdasarkan pengalaman. Menurut konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal
dari luar akan tetapi dikonstruksi oleh dan dari dalam diri seseorang. Oleh
sebab itu pengetahuan terbentuk oleh dua faktor penting, yaitu objek yang
menjadi bahan pengamatan dan kemampuan subjek untuk menginterpretasi objek
tersebut. Kedua faktor itu sama pentingnya. Dengan demikian pengetahuan itu
tidak bersifat statis akan tetapi bersifat dinamis, tergantung individu yang
melihat dan mengonstruksinya. Piaget menyatakan hakikat pengetahuan sebagai
berikut:
1)
Pengetahuan bukanlah merupakan
gambaran dunia kenyataan belaka, akan tetapi selalu merupakan gambaran dunia
kenyataan belaka, akan tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui
kegiatan subjek.
2)
Subjek membentuk skema
kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
3)
Pengetahuan dibentuk dalam
struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila
konsep itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
Pembelajaran melalui CTL pada
dasarnya mendorong agar siswa dapat mengonstruksi pengetahuan melalui proses
pengamatan dan pengalaman. Asas kedua dalam pembelajaran CTL adalah inkuiri.
Artinya, proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui
proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil
dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Dengan
demikian dalam proses perencanaan, guru bukanlah mempersiapkan materi yang harus
dihafal, akan tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat
menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya. Belajar pada dasarnya
merupakan proses mental seseorang yang tidak terjadi secara mekanis. Melalui
proses mental itulah diharapkan siswa berkembang secara utuh baik intektual,
mental emosional maupun pribadinya.
Berbagi topik dalam setiap mata
pelajaran dapat dilakukan melalui proses inkuiri. Secara umum proses ikuiri
dapat dilakukan melalui beberapa langkah yaitu:
1)
Merumuskan masalah, mengajukan
hipotesis, mengumpulakn data, menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan
dan membuat kesimpulan. Penerapan asas ini dalam pembelajaran CTL, dimulai dari
adanya kesadaran siswa akan masalah yang jelas yang ingin dipecahkan. Dengan
demikian siswa harus didorong untuk menemukan masalah. Apabila masalah telah
dipahami dengan batasan-batasan yang jelas.
2)
Mengajukan hipotesis atau
jawaban sementara sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan. Hipotesis itulah
yang akan menuntun siswa untuk melakukan observasi dalam rangka mengumpulkan
data. Manakala data telah terkumpul selanjutnya siswa dituntun untuk mengui
hipotesis sebagai dasar dalam merumuskan kesimpulan.
3)
Bertanya (questioning). Belajar
pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat
dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu; sedangkan
menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berfikir. Dalam
proses pembelajaran melalui CTL, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja,
akan tetapi memancing agar siswa dapat menemukan sendiri. Oleh sebab itu peran
bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyaan guru dapat membimbing dan
mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi yang dipelajarinya. Dalam suatu
pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya akan sangat berguna untuk: (1)
menggali informasi tentang kemampuan siswa dalam penguasaan materi pelajaran;
(2) membangkitkan motivasi siswa untuk belajar; (3) merangsang keingintahuan
siswa terhadap sesuatu; (4) memfokuskan siswa pada sesuatu yang diinginkan; dan
(5) membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu.
4)
Masyarakat belajar (learning
community). Dalam CTL, penerapan asas masyarakat belajar dapat dialukan dengan
menerapkan pembelajaran melalui kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok
yang anggotanya bersifat heterogen, baik dilihat dari kemampuan dan kecepatan
belajarnya, maupun dilihat dari bakat dan minatnya. Biarkan dalam kelompoknya
mereka saling membelajarkan; yang cepat belajar didorong untuk membantu yang lambat
belajar, yang memiliki kemampuan tertentu didorong untuk menularkannya pada
yang lain.
5)
Pemodelan (modeling). Maksudnya
adalah, proses pembelajaran dengan menggunakan sesuatu contoh yang dapat ditiru
oleh setiap siswa. Misalnya guru memberikan contoh bagaimana cara
mengoperasionalkan sebuah alat, atau bagaimana cara melafalkan sebuah kalimat
asing, guru olahraga memberikan contoh bagaimana cara melempar bola, guru
kesenian memberi contoh bagaimana cara memainkan alat musik, guru biologi
memberikan contoh bagaimana cara mengggunakan thermometer dan lain sebagainya. Proses
modelling, tidak terbatas dari guru saja, akan tetapi dapat juga guru
memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan. Misalnya siswa yang pernah
menjadi juara dalam membaca puisi dapat disuruh untuk menampilkan kebolehannya
di depan teman-temannya, dengan demikian siswa dapat dianggap sebagai model.
Modeling merupakan asas yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab
melalui modelling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoretis-abstrak
yang memungkinkan terjadinya verbalisme.
6)
Refleksi (reflection) adalah
proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara
mengurutkan kembali kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya.
Melalui proses refleksi, pengalaman belajar itu akan dimasukkan dalam struktur
kognitif siswa yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan yang
dimilikinya. Bisa terjadi melalui proses refleksi siswa akan memperbarui
pengetahuan yang telah dibentuknya, atau menambah khazanah pengetahuannya.
Dalam setiap proses pembelajaran dengan menggunakan CTL, setiap berakhir proses pembelajaran, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk ‘’merenung’’ atau mengingat kembali apa yang telah dipelajarinya. Biarkanlah secara bebas siswa menafsirkan pengalamannya sendiri, sehingga ia dapat menyimpulkan tentang pengalaman belajarnya.
Dalam setiap proses pembelajaran dengan menggunakan CTL, setiap berakhir proses pembelajaran, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk ‘’merenung’’ atau mengingat kembali apa yang telah dipelajarinya. Biarkanlah secara bebas siswa menafsirkan pengalamannya sendiri, sehingga ia dapat menyimpulkan tentang pengalaman belajarnya.
7)
Penilaian nyata (authentic
assessment) adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi
tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini diperlukan
untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau tidak; apakah pengalaman
belajar siswa memiliki pengaruh yang positif terhadap perkembangan baik
intelektual maupun mental siswa. Penilaian autentik dilakukan secara
terintegrasi dengan proses pembelajaran. Penilaian ini dilakukan secara terus
menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh sebab itu, tekanannya
diarahkan kepada proses belajar bukan kepada hasil belajar.
0 komentar:
Posting Komentar